RSS

Surat Cinta Untuk Tiga Wanita

29 Jul

Kepada: Isyana Sarasvati, Raisa Andriana, dan Julie Estelle

Maaf.

Satu kata pengawal surat ini sengaja aku pilih dari sekian banyak kata yang bisa diucapkan, tapi tak banyak orang sanggup mengatakannya.
Ya, aku meminta maaf untuk semua perasaanku pada kalian. Dek Isyana, Dek Raisa, dan Dek Julie, bukannya aku tidak menyayangi kalian lagi. Masih saja aku ingat masa-masa menyenangkan dengan kalian. Masa yang menumbuhkan perasaan yang sangat bisa membuat iri laki-laki lain di negeri ini. Bagaimana tidak,

Dek Raisa, tentu, kamu masih sangat ingat, saat kamu membawakan sebungkus penuh pisang goreng mentega kesukaanku sembari tersenyum. Waktu itu, langit sedang cerah-cerahnya. Awan-awan seperti kapas yang beriringan, sesekali, beberapa semakin menipis, seperti bulu-bulu angsa yang tertiup semilir angin. Romantis, bukan? Aku pun juga masih sangat ingat, bagaimana kamu dengan manja sekali meminta es krim yang sederhana—“sesederhana cintaku padamu, Mas,” katamu waktu itu, meskipun sederhana bukanlah hal yang begitu saja mudah dicerna oleh pikiran. Baru saja aku memikirkan sesederhana apa cintamu padaku, aku sudah dibingungkan dengan hal sederhana berikutnya: tentang permintaanmu akan satu es krim, yang tempatnya dari kerupuk warna pink. Ah, kesederhanaan memang sering membingungkan. “Ini ibukota, Dek Raisa,” kataku penuh kebingungan. Kamu tentu tahu, banyak sekali kebahagiaan anak-anak desa yang sederhana, sangat sulit didapatkan di kota besar seperti tempatmu bekerja. Di sana, membuang uang percuma memang hal yang biasa. Tapi, kebahagiaan yang murah harganya tak mesti setahun sekali kaujumpai. Terkadang di situ, aku sering tiba-tiba tertegun. Mungkin kamu memang sebaiknya menjadi gadis desa yang biasa, yang ayu wajahmu karena tersaput sinar senjakala, bukan bedak yang berjuta-juta harganya.
Dek Isyana Sarasvati, kamu masih ingat, waktu aku mengajakmu jalan-jalan keliling Kota Pahlawan, juga kota tempat Jenderal Malaby menghembuskan napas terakhirnya ini, aku mengajakmu untuk mampir ke Taman Hiburan Remaja, untuk menonton pertunjukan ludruk waktu itu. Kamu tak sedikit pun tertawa melihat leluconnya. Ah, aku masih ingat, katamu waktu itu, “Level humorku tinggi, aku ga bisa ketawa lihat yang begini.” Aku tersenyum saja mendengarnya. Bukan aku tak bisa dengan joke-joke yang katamu cerdas dan berlevel tinggi itu. Aku hanya ingin memperlihatkan kesenian asli negeri ini. Bagiku, kalau ingin tertawa, tak perlu berpikir terlebih dulu. Tak juga harus menyinggung sana-sini perasaan yang lainnya. Toh, akhirnya kuberi tahu kamu lelucon yang saking lucunya, kamu pun tak tahu kapan saat yang tepat untuk tertawa, karena waktumu habis untuk memikirkannya, sistem pemerintahan negeri ini, misalnya. Belum lagi tentang hidup di dunia, yang sejatinya hanyalah senda gurau belaka, yang kamu malah diam-diam sering menangis menjalaninya. Sudahlah, Dek Isyana, soal pikiran, kamu belum apa-apa dibanding teman-teman ngopiku yang sudah menjalani banyak seluk beluk hidup ini. Aku banyak berguru pada mereka.
Dek Julie Estelle, kamu cantik, parasmu lain dari yang lainnya, ada pesona yang berbeda. Agak berat memang, melepaskan perasaanku, apalagi saat kuingat kelucuanmu saat kita makan kelanting di sekitaran Stasiun Wonokromo. Kamu begitu menyukainya. Lalu, tiba-tiba, ada seorang tua datang menyanyikan lagu daerah yang begitu aku suka, kamu pun menyukainya. Kamu memelukku erat, sesaat sebelum kereta berangkat. “Aku akan mencoba beli tahu goreng nanti di kereta,” katamu, yang mulai tahu, makanan desa selalu lebih lezat dari menu-menu berat ala barat. Kita pun berpisah. Hari-hari berlalu, kamu semakin sibuk, juga bertemu dengan teman-temanmu di sana. Kita mulai jarang berkomunikasi. Entah, buku-buku apa yang kamu baca, juga petuah-petuah dari mana saja yang kamu dapatkan, kamu mulai berbeda. Katamu, kita akan bertemu jika memang sudah ditakdirkan. Sampai titik ini, aku merasa hidupmu sudah diracuni falsafah-falsafah yang sering menjerumuskan. Aku balik bertanya, “Untuk apa Tuhan menciptakan manusia, jika ia sendiri hanya menyerah pada takdir dan tak mau berusaha?” Berserah diri tidak selucu itu, Dek. Terkadang di sini, aku merasa dogma malah seringkali membuat manusia jauh dari anugerah Tuhannya. Dan dogma pula yang banyak membuat hubungan antar manusia berjalan tak sebaiknya. Lucunya lagi, takdir selalu menjadi kambing hitamnya.

Pada akhirnya, aku harus mengatakan ini pada kalian bertiga, Dek Julie, Raisa, juga Isyana, lanjutkanlah perjalanan kalian, di dunia kalian. Aku akan memilih kekasih yang sederhana, yang memahami hidupku nantinya. Mungkin, ia adalah gadis desa, yang tak pernah tampak di layar kaca, kecuali kaca rias yang selalu dipakai oleh ibunya dan kaca-kaca lain untuk hanya sekadar menata pakaiannya, tanpa riasan yang terlampau polesannya. Dia, yang masih sangat suka menu-menu masakan ala desa, menyukai kesenian dan budaya, dan masih sangat hafal lagu-lagu daerah, tentunya. Dia, yang nanti sanggup merawat keriangan masa kanakku, karena kalian tahu, seorang lelaki akan tumbuh semakin dewasa jika menjaga jiwa kanaknya. Akan selalu ada masalah di dunia yang tak sanggup dipecahkan oleh para bijaksana dan para cendekia, tapi sanggup ditaklukkan mereka-mereka yang memiliki kekanakan abadi. Pada dia, nantinya, seluruh cinta yang kuramu akan kutegukkan. Kukucurkan bagai hujan di hatinya yang bening bagai Telaga Nirmala. Semoga Tuhan selalu menjaga dan melimpahkan kebaikan padanya. Salaam.

FA

 
1 Comment

Posted by on July 29, 2015 in sembarang

 

One response to “Surat Cinta Untuk Tiga Wanita

  1. Mohamad Akbar

    August 1, 2015 at 11:18 pm

    Incredible, i like it this story, brother!

     

Leave a comment