RSS

Dari Hari Pendidikan Hingga Tongkat Nabi Musa

02 May

Terpujilah wahai engkau Ibu Bapak Guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku…

Ya, saya mengajak para pembaca yang budiman (sebutan bagi pembaca surat kabar di mana Majalah Bobo yang menempatkan anak-anak pada peran masa kanaknya dengan tepat masih berjaya dan koran-koran belum banyak diisi berita kejahatan. red)
bernyanyi dulu untuk Ibu Bapak Guru. Bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional ini, pagi-pagi sekali ditemani secangkir kopi dan sebungkus rokok saya merenung.

Perenungan saya bukan soal kenapa Dik Kae yang selalu meletakkan cinta pada sisi-sisi filosofis, padahal hidup di dunia masih butuh hal-hal wajar dan keasyikan-keasyikan yang malah nggak ada di Surga. Perenungan saya juga bukan soal banyaknya mahzab-mahzab yang muncul karena saking banyaknya intelektual yang kecanduan menafsir ayat-ayat suci sehingga setiap huruf menjelma pedang dan peluru. Bagi saya itu tak lebih, hanyalah cara para intelektual itu meletakkan ayat suci lebih berbahaya daripada khamr yang disalah-tafsirkan jadi (hanya berarti) banyu setan.

Perenungan saya lebih sederhana dari itu, lebih ndak ng-intelek dari filsafat-filsafat yang ada di buku-buku. Pagi ini pikiran saya keceplosan bertanya: Kenapa Hari Pendidikan dan Hari Guru berbeda?

Apakah ini pertanda, antara guru dan pendidikan sudah tidak lagi nyawiji dan manunggal di negeri kita?

Apakah sudah banyak guru yang kehilangan jiwa mendidiknya?

Atau, kita masih belum sanggup menganggap segala hal adalah guru, ketika kita mendapat pendidikan baru: dari penjual nasi bubur dan pengalaman di perjalanan, misalnya.

Terlalu serius, saya. Nggak asyik, ah.

Mungkin karena keseringan melihat berita di tivi soal reklamasi Jakarta yang permasalahannya kian nggak ada jluntrungnya. Entah apa tujuan di balik reklamasi itu. Apakah sama dengan reklamasi yang dilakukan Rama dan bala tentara kera yang mengurug lautan dengan batu-batu menuju Alengka dalam lakon wayang Romo Tambak, yaitu reklamasi demi cinta?
Ataukah untuk menyamakan keajaiban tongkat komando dengan tongkat Nabi Musa yang bisa membelah lautan?
Atau sebenarnya ini kejadian alamiah manusia mengikuti peredaran zaman sesuai dengan teori Expanding Universe.

Tapi, terlepas dari itu, seandainya mengikuti sejarah Indonesia sebagai negeri maritim, semestinya, jika pun ada reklamasi tentulah ke bagian sisi luar. Menambah area ZEE untuk kepentingan perekonomian rakyat.
Tapi kembali lagi, mungkin tentang kebesaran kemaritiman negeri ini pun sudah semakin bias disampaikan di dunia pendidikan kita.

Kembali pada pendidikan. Sebagai generasi penerus bangsa sudah semestinya kita melakukan tradisi pendidikan dan penularan ilmu pengetahuan tanpa menunggu dan bergantung pada proses akademis saja. Akan sangat lamban peredaran pengetahuan jika hanya mengandalkan kurikulum sekolah.

Kita masih berhak menyampaikan ilmu pengetahuan lewat seni, budaya, dan obrolan-obrolan di warung kopi. Meskipun ada saja warung kopi yang meminta pergi pelanggannya karena diksi-diksi dalam obrolannya tidak sesuai dengan mahzab penjualnya. Seperti warung kae, misalnya.
Semoga tak ada sandal tertukar di sana.

Baiklah, di Hari Pendidikan yang panas ini masih terdengar gema gaung May Day, yang kian lama kian terdengar mirip ‘Mayday’. Mungkin dunia pendidikan negeri kita memang sudah dalam keadaan darurat. Ingat pendidikan, kita ingat, dunia seni negeri kita punya Didik-didik yang sangat guru dan mendidik. Ya, Didik Nini Towok dan Didi Petet alm. Dari kesenian mereka dunia pendidikan melakukan nilai-nilai perjuangan dan gerilya di jiwa generasi bangsa ini. Sudah semestinya negeri ini kembali pada seni dan budayanya sendiri.

Teruslah menari
meski nganga itu luka di hati. (FA)

 

 

 

 

 
Leave a comment

Posted by on May 2, 2016 in sembarang

 

Leave a comment