oleh Firman A. dan Novita Poerwanto
http://novitapoerwanto.wordpress.com
Dingin. Beberapa detak lagi jarum jam akan terlihat seperti sepasang tubuh dalam sebuah pelukan. Saling himpit, satu tubuh menutup tubuh lainnya. Sebuah pelukan yang akan selalu kuingat. Dan, tak akan terhapus oleh musim mana pun. Sementara daun jendela kamar tua ini, masih sedikit terbuka. Belum sempat kututup rapat, karena malam ini, malam bulan mati. Malam yang selalu kutunggu, sebab aku bisa memandang langit yang tampak gelap. Segelap sebuah peristiwa yang selalu menusuk-tikam pikiranku. Angin dari luar kamar — yang kebetulan, jendela di sisi barat kamar tua ini menghadap ke sebuah lahan kosong, yang tak pernah terjamah oleh siapa pun — seperti tangan-tangan lembut yang mengantarkan sebuah kabar dari masa silam, yang kelam. Kabar tentang seorang perempuan yang mencoba menjerit. Tapi, siapa pun tak akan mampu mendengar suaranya. Hanya air matanya, terlihat seperti segar embun yang mulai membasahi dedaun malam hari, lalu, menetes pelan, sepelan napasnya.
Read the rest of this entry »